Sabtu, 16 Februari 2013

TAMIANG



SYAIR ABAH GADENG TAMIANG

Gunung ceremai menjulang tinggi
Indah dilihat diwaktu pagi
Sungguh saying yang tau diri
Tapi tak mau masuk kedalam makam rabbani.

Daun kemiri sangatlah tinggi
Pohonnya tegak berdiri
Janganlah tetap di diri terperi
Tapi jadilah diri sebenar diri.

Buah kemiri bergerigi
Dipukul didengkul sakit sekali
Di dalam hati ada empat sisi
Sisi yang mana terperi?

Kampong Barus disebelah singkil
Hamzah fansuri ulama sejati
Sungguh sayang yang punya diri
Diri diperbudak kesana kemari

Bermain layangan ditengah padang
Padang luas dipenuhi duri
Aku kejar pujaan yang tersayang
Rupanya ada di dalam diri

Duhai mawar
kuntummu telah mekar
ketika menyambut kehadiran sang fajar
rupa menawan menebar keharuman
indah mempesona

Duhai mawar
kuntummu telah mekar
ketika sang surya memnampakkan diri tuk mengawali hari
mengharum semerbak di seluruh taman
damailah rasa

Duhai mawar
akankah kuntummu tetap mekar
ketika rasa ini mngehendaki di esok hari
ingin mencium keharumanmu lagi
segarlah sepanjang masa…

Detik demi detik dari masa yang berlalu
akan terus berganti waktu
Kisah demi kisah yang telah pergi
akan tetap hilang dan tak kan kembali

Matahari yang ada di siang ini
esok kan berbeda tak terulang lagi
Rembulan yang ada di malam hari
esok pun kan berganti

Saat ada akan terlupa
ketika berlalu datanglah rindu

Tiada sadar jiwa-jiwa yang alpa
tentang nilai dan harga
ketika segalanya hadir di depan mata

Tersadarlah jiwa-jiwa yang merugi
dengan penyesalan diri
ketika segalanya hilang pergi

Nilai dan harga yang terlupa
harus ditebus saat telah sirna
dengan penyesalan dan harapan sia-sia
bilakah kembali terulang di depan mata



Nur Muhammad letaknya di langit, apa jadinya  ketika Nur menzahir kebumi?
 Maka ia menjadi MIM, HA, MIM, DAL.
Sudah sanggupkah bumi menerima Nur nya?
Nur yang mampu memadamkan api sesembahan majusi,
Tajamnya setajam rambut dibelah tujuh,
Kencangnya sekencang kilat,
Dinginnya melebihi kutub, panasnya melebihi neraka.
Bumi akan bias akur jika sudah ditaklukkan langit.
Makanya jadilah engkau utusan dari bumi ke langit memohon bantuan dari langit untuk menaklukkan bumi.
Dahulu malaikat dan iblis tinggal di langit bersama-sama,
tapi iblis mengotori langitnya dengan nafsu maka ia dijatuhkan kebumi.
Jadilah ia induk binatang yang selalu memakan dengan rakus dan ganas.
Langit adalah Zahirnya Muhammad bumi adalah ‘af’alnya Muhammad.
Sudah samakah perbuatan Muhammad dengan Zahirnya Muhammad.
Roh dan hati adalah unsur langit, akal dan nafsu adalah unsur bumi
jangan sampai jatuh unsur langit ke bumi  karena akan dimakan penduduk bumi (binatang) yang sudah dimakan ikhlaskanlah jangan dipikirkan lagi karena dia akan kembali menjadi zat.

Jumat, 08 Februari 2013

Dialog Abu Hanifah vs Atheis



Imam Abu Hanifah  r.a pernah bercerita : Ada seorang ilmuwan besar, Atheis dari kalangan bangsa Romawi, tapi ia orang kafir. Ulama-ulama Islam membiarkan saja, kecuali seorang, yaitu guru Imam Abu Hanifah r.a, oleh karena itu dia segan bila bertemu dengannya.

Pada suatu hari, orang-orang berkumpul di masjid, orang kafir itu naik ke mimbar dan menantang untuk bertukar pikiran dengan siapa saja, dia hendak menyerang ulama-ulama Islam. Di antara shaf-shaf masjid bangunlah seorang pemuda, dialah Abu Hanifah r.a dan ketika sudah berada dekat depan mimbar,
dia berkata: "Perkenankan saya, untuk bertukar-fikiran dengan tuan". Mata imam Abu Hanifah r.a berusaha untuk menguasai suasana, namun dia tetap rendah hati dikarenakan usianya yg masih muda. Lalu dia pun mulai berkata: "Katakan pendapat tuan!". Ilmuwan kafir itu heran akan keberanian Imam Abu Hanifah r.a, lalu bertanya:

Atheis : Pada tahun berapakah Rabbmu dilahirkan?Imam Abu Hanifah r.a : Alloh SWT berfirman: "Dia (Alloh SWT) tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan"
Atheis : Masuk akalkah bila dikatakan bahwa Rabbmu ada pertama yang tiada apa-apa sebelum-Nya?, Pada tahun berapa Dia ada?
Imam Abu Hanifah r.a : Dia berada sebelum adanya sesuatu.
Atheis : Kami mohon diberikan contoh yang lebih jelas dan nyata!
Imam Abu Hanifah r.a : Tahukah tuan tentang perhitungan?
Atheis : Ya.
Imam Abu Hanifah r.a : Angka berapa sebelum angka satu?
Atheis : Tidak ada angka (nol).
Imam Abu Hanifah r.a : Kalau sebelum angka satu tidak ada angka lain yang mendahuluinya, kenapa tuan heran kalau sebelum Alloh SWT Yang Maha satu yang hakiki tidak ada yang mendahuluiNya?

Atheis : Dimanakah Rabbmu berada sekarang?, sesuatu yang ada pasti ada tempatnya.
Abu Hanifah r.a : Tahukah tuan bagaimana bentuk susu?, apakah di dalam susu itu ada keju?
Atheis : Ya, sudah tentu.
Imam Abu Hanifah r.a : Tolong perlihatkan kepadaku di mana, di bagian mana tempatnya keju itu berada?
Atheis : Tak ada tempat yang khusus. Keju itu menyeluruh meliputi dan bercampur dengan susu diseluruh bagian.
Imam Abu Hanifah r.a : Kalau keju yang hanya berupa makhluk itu tidak ada tempat khusus dalam susu tersebut, apakah layak tuan meminta kepadaku untuk menetapkan tempat  Alloh SWT?, Dia tidak bertempat dan tidak ditempatkan!

Atheis : Tunjukkan kepada kami zat Rabbmu, apakah ia benda padat seperti besi, atau benda cair seperti air, atau menguap seperti gas?
Imam Abu Hanifah r.a : Pernahkan tuan mendampingi orang sakit yang akan meninggal?
Atheis : Ya, pernah.
Imam Abu Hanifah r.a : Semula ia masih berbicara dengan tuan dan menggerak-gerakan anggota tubuhnya. Lalu tiba-tiba diam tak bergerak, apa yang menimbulkan perubahan itu?
Atheis : Karena rohnya telah meninggalkan tubuhnya.
Imam Abu Hanifah r.a : Apakah waktu keluarnya ruh itu tuan masih ada disana?
Atheis : Ya, masih ada.
Abu Hanifah r.a : Ceritakanlah kepadaku, apakah ruhnya itu benda padat seperti besi, atau cair seperti air atau menguap seperti gas?
Atheis : Entahlah, kami tidak tahu.
Imam Abu Hanifah r. : Kalau tuan tidak mengetahui bagaimana zat maupun bentuk ruh yang hanya sebuah makhluk, bagaimana tuan dapat memaksaku untuk mengutarakan zat Alloh SWT?!!

Atheis : Ke arah manakah Tuhanmu sekarang menghadapkan wajahnya? Sebab segala sesuatu pasti mempunyai arah?
Imam Abu Hanifah r.a : Jika tuan menyalakan lampu di dalam gelap malam, ke arah manakah sinar lampu itu menghadap?
Atheis : Sinarnya menghadap ke seluruh arah dan penjuru.
Imam Abu Hanifah r.a : Kalau demikian halnya dengan lampu yang cuma buatan itu, bagaimana dengan Alloh SWT Pencipta langit dan bumi, sebab Dia nur cahaya langit dan bumi.

Atheis : Kalau ada orang masuk ke syurga itu ada awalnya, kenapa tidak ada akhirnya? Kenapa di syurga kekal selamanya?
Imam Abu Hanifah r.a: Perhitungan angka pun ada awalnya tetapi tidak ada akhirnya.
Atheis : Bagaimana kita dapat makan dan minum di syurga tanpa buang air kecil dan besar?
Imam Abu Hanifah r.a : Tuan sudah mempraktekannya ketika tuan berada di perut ibu tuan. Hidup dan makan minum selama sembilan bulan, akan tetapi tidak pernah buang air kecil dan besar disana. Baru kita melakukan dua hajat tersebut setelah keluar beberapa saat ke dunia.
Atheis : Bagaimana kebaikan syurga akan bertambah dan tidak akan habis-habisnya jika dinafkahkan/diberikan kepada para penghuni syurga?
Imam Abu Hanifah r.a : Alloh SWT juga menciptakan sesuatu di dunia, yang bila dinafkahkan/diberikan malah bertambah banyak, seperti ilmu. Semakin diberikan (disebarkan) ilmu kita semakin berkembang (bertambah) dan tidak berkurang.

"Ya! kalau segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, apa yang sedang Alloh SWT kerjakan sekarang?" tanyak Atheis. "Tuan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dari atas mimbar, sedangkan saya menjawabnya dari atas lantai. Maka untuk menjawab pertanyaan tuan, saya mohon tuan turun dari atas mimbar dan saya akan menjawabnya di tempat tuan", pinta Imam Abu Hanifah r.a.kemudian Ilmuwan kafir itu turun dari mimbarnya, dan Imam Abu Hanifah r.a naik di atas. "Baiklah, sekarang saya akan menjawab pertanyaan tuan.
Tuan bertanya apa pekerjaan Alloh SWT sekarang?". Ilmuwan kafir mengangguk. "Ada pekerjaan-Nya yang dijelaskan dan ada pula yang tidak dijelaskan. Pekerjaan-Nya sekarang ialah bahwa apabila di atas mimbar sedang berdiri seorang kafir yang tidak pantas seperti tuan, Dia akan menurunkannya seperti sekarang, sedangkan apabila ada seorang mukmin di lantai yang berhak, dengan segera itu pula Dia akan mengangkatnya ke atas mimbar, demikian pekerjaan Alloh SWT setiap waktu". Para hadirin puas dengan jawaban yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah r.a dan begitu pula dengan orang kafir itu.

DIALOG IBN ATHAILLAH vs IBN TAYMIYAH



Dialog Ibn Athaillah al-Sakandari [wafat 709 H] dengan Ibn Taimiyah [wafat 728 H]. Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibnu Athaillah al-Sakandari:"The debate with Ibn Taimiyah".
Ditranslasi dari buku karya: Syekh Muhammad Hisyam Kabbani's, The repudiation of "Salafi" Innovations.
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Abu Fadhl Ibn Athaillah al-Sakandari [wafat 709 H], salah seorang Imam sufi terkemuka yang dikenal juga sebagai Muhaddits, Muballigh sekaligus ahli fiqh Maliki. Ia adalah penulis dan karya-karyanya sebagai berikut:

-Al-Hikam.
-Miftahul Falah.
-Al-Qasdul al-Mujarrad fi Makrifat al-Ism al-Mufrad.
-Taj al-Arus al-Hawi li tadhib al-Nufus.
-Unwan al-Taufiq fi al-adad al-Thariq.
Sebuah biografi:
-Al-Lata'if fi Manaqib Abi al-Abbas al-Mursi wa Syaikhikhi Abi al-Hasan.
-Dan lain-lain.

Beliau adalah murid Abu al-Abbas al-Mursi [wafat 686 H], dan generasi penerus kedua Tarekat Syadziliyah "Imam Abul al-Hasan al-Syadzili". Ibn Athaillah adalah salah seorang yang membantah Ibn Taimiyah atas serangan yang berlebihan terhadap kaum sufi yang tidak sepaham dengannya. Dialog berikut ini adalah terjemahan Inggris pertama dan merupakan dialog bersejarah antara dua tokoh tersebut.

Naskah Dialog: Dari Usul al-Wusul.
Karya: Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Katsir, Ibn al-Athir.
Penulis biografi dan kamus biografi, kami memperoleh naskah dialog bersejarah yang otentik.
Naskah tersebut memberikan ilham tentang etika berdebat di antara kaum terpelajar. Di samping itu, ia juga merekam kontroversi antara pribadi yang berpengaruh dalam tasawuf:
Syekh Ahmad Ibn Athaillah al-Sakandari, dan tokoh yang tidak kalah pentingnya dalam gerakan ''Salafi'': Syekh Ahmad Ibn Abd al-Halim Ibn Taimiyah, selama era Mamluk di Mesir yang berada dibawah pemerintahan Sultan Muhammad Ibn Qalawun [al-Malik al-Nasir].

Kesaksian Ibn Taimiyah kepada Ibn Athaillah.
Ibn Taimiyah ditahan di Alexandria. Ketika Sultan memberikan ampunan, ia kembali ke Kairo. Menjelang malam, ia menuju masjid Al-Azhar untuk shalat maghrib yang diimami Syekh Ibn Athaillah. Selepas shalat, Ibn Athaillah terkejut menemukakan Ibn Taimiyah sedang berdoa dibelakangnya. Dengan senyuman, sang syekh sufi menyambut ramah kedatangan Ibn Taimiyah di Kairo seraya berkata:
Assalamu'alaikum, selanjutnya ia memulai pembicaraan dengan tamu cendekianya ini.

Ibn Athaillah:
Biasanya saya shalat di masjid Imam Husein dan shalat Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah menakdirkan, sayalah orang pertama yang harus menyambut anda [setelah kepulangan anda ke Kairo]. Ungkapkanlah kepadaku wahai faqih, apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?

Ibn Taimiyah:
Aku tahu anda tidak bermaksud buruk terhadapku, api perbedaan pandangan diantara kita tetap ada. Sampai hari ini, dalam kasus apapun, aku tidak mempersalahkan dan membebaskan dari kesalahan, siapapun yang berbuat buruk terhadapku.

Ibn Athaillah:
Apa yang anda ketahui tentang aku, syekh Ibn Taimiyah?

Ibnu Taimiyah:
Aku tahu anda adalah seorang yang shaleh, berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara benar dan tulus. Aku bersumpah tidak ada orang selain anda, baik di Mesir maupun Syria yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di [hadapan] Allah atau lebih patuh atas perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tapi bagaimanapun juga kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang anda ketahui tentang saya? Apakah anda atau saya sesat dengan menolak kebenaran [praktek] meminta bantuan seseorang untuk memohon pertolongan Allah [istighatsah]?

Ibn Athaillah:
Tentu saja, rekanku, anda tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawasul atau mengambil wasilah [perantara] dan meminta syafaat; dan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan.
Ibnu Taimiyah:
Mengenai hal ini saya berpegang pada sunnah Rasul yang ditetapkan dalam syari'at. Dalam hadits berbunyi:
''Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat''.
Dalam ayat Al-Qur'an juga disebutkan:
''Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu [wahai Nabi] ke tempat yang terpuji.'' [QS. Al-Isra 79].
Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali radhiyallahu 'anhu wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya:
''Ya Allah Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya Fathimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku, utusan-Mu, dan para Nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun''.
Inilah syafaat yang dimiliki Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sementara mencari pertolongan dari selain Allah, merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan dari selain Allah.

Ibn Athaillah:
Semoga Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih! Maksud dari saran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah tidak melalui kekerabatannya dengan Rasul melainkan dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan mengenai pemahaman anda tentang istighatsah sebagai mencari bantuan kepada selain Allah, yang termasuk perbuatan muryrik, saya ingin bertanya kepada anda:

''Adakah muslim yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya yang berpendapat, ada selain Allah yang memiliki kekuasaan atas segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah ditetapkannya berkenaan dengan dirinya sendiri?''

''Adakah mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk, selain dari Allah?''

Disamping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada berbagai ekspresi yang tak bisa dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana kemusyrikan. Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rasul berarti mengharap anugerah syafaat yang dimilikinya dari Allah, sebagaimana jika anda mengatakan:

''Makanan ini memuaskan seleraku''.

Apakah dengan demikian makanan itu sendiri yang memuaskan selera anda? Ataukah disebabkan Allah yang memberikan kepuasan melalui makanan?

Sedangkan pernyataan anda bahwa Allah melarang muslim untuk mendatangi seseorang selain Diri-Nya guna mendapat pertolongan, pernahkah anda melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada selain Allah?

Ayat Al-Qur'an yang anda rujuk, berkenaan dengan kaum musyrikin dan mereka yang memohon pada dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan satu-satunya jalan bagi kaum muslim yang meminta pertolongan Rasul adalah dalam rangka bertawasul atau mengambil perantara, atas keutamaan [hak] Rasul yang diterimanya dari Allah [bihaqqihi inda Allah] dan tashaffu atau memohon bantuan dengan syafaat yang Allah anugerahkan kepada Rasul-Nya.

Sementara itu, jika anda berpendapat bahwa istighatsah atau memohon pertolongan itu dilarang syari'at karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan anggur karena dapat dijadikan minuman keras, dan mengebiri laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina. [kedua syekh tertawa atas komentar terakhir ini].

Lalu Ibn Athaillah melanjutkannya: Saya kenal betul dengan segala inklusifitas dan gambaran mengenai sekolah fiqh yang didirikan oleh syekh anda, Imam Ahmad, dan saya tahu betapa luasnya teori fiqh dan mendalamnya ''prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan syaitan'' yang anda miliki sebagaimana juga tanggung jawab moral yang anda pikul sebagai seorang ahli fiqh.

Namun saya juga menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali terselubung dibalik kondisi harfiahnya.

Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya.
Anda harus menembus ke dalam jasad fisik ini untuk meraih hakikat yang mendalam.
Kini anda telah memperoleh dasar bagi pernyataan anda terhadap karya Ibn Arabi, Fususul-Hikam. Naskah tersebut telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak dimaksudkannya [memberikan contoh tokoh Islam].
Ketika syekh al-Islam al-Izz Ibn Abd Salam memahami apa yang sebenarnya diucapakan dan dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti makna sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia segera memohon ampun kepada Allah subhanahu wata'ala atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin Ibn Arabi sebagai Imam Islam.

Sedangkan mengenai pernyataan al-Syadzili yang memojokkan Ibn Arabi, perlu anda ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya, melainkan dari salah seorang murid Syadziliyah.

Lebih jauh lagi, pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian pengikut Syadzaliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri.

''Apa pendapat anda mengenai Khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib?''

Malem Diwa di Aceh





Sebagai sebuah kabupaten, Bireuen memiliki babatan sejarah tersendiri yang melekat dengan Kabupaten Aceh Utara, sebagai awal induk daerah tersebut. Peusangan sebagai bagian dari Bireuen juga memiliki kisah tersendiri, salah satunya Malem Diwa yang sudah melegenda.

Bireuen boleh dibilang sebagai kabupaten yang tergolong masih muda di Aceh. Ia baru menjadi daerah pemerintahan defenitif tingkat dua pada tahun 1999. Sebelum itu, Bireuen merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Utara. Sejarah Aceh Utara sendiri tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan Kerajaan Islam di pesisir Sumatera yaitu Samudera Pasai yang terletak di Kecamatan Samudera Geudong yang merupakan tempat pertama kehadiran Agama Islam di kawasan Asia Tenggara.

Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh mengalami pasang surut, mulai dari zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, kedatangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 sehingga 10 tahun kemudian Samudera Pasai turut diduduki, hingga masa penjajahan Belanda. Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menguasai benteng pertahanan terakhir pejuang Aceh Kuta Glee di Batee Iliek di Samalanga. Dengan surat Keputusan Vander Geuvemement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Pemerintah Hindia Belanda membagi Daerah Aceh atas 6 (enam) Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin seorang Asistent Resident.

Salah satunya adalah Affleefing Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang meliputi Aceh Utara sekarang ditambah Kecamatan Bandar Dua yang kini telah termasuk Kabupaten Pidie Jaya. Afdeeling Noord Kust Aceh dibagi dalam 3 (tiga) Onder Afdeeling (Kewedanaan) yang dikepalai seorang Countroleur (Wedana) yaitu: Onder Afdeeling Bireuen, Onder Afdeeling Lhokseumawe, Onder Afdeeling Lhoksukon Selain Onder Afdeeling tersebut terdapat juga beberapa Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya yaitu Ulee Balang Keuretoe, Geurogok, Jeumpa, dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik. Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling disebut Gun, Zelf Bestuur disebut Sun, Mukim disebut Kun dan Gampong disebut Kumi.

Sesudah Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka, Aceh Utara disebut Luhak yang dikepalai oleh seorang Kepala Luhak sampai dengan tahun 1949. Melalui Konfrensi Meja Bundar, pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur. Tokoh-tokoh Aceh saat itu tidak mengakui dan tidak tunduk pada RIS tetapi tetap tunduk pada Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Hakikat Huruf Hijaiyyah



Dari Husein bin Ali bin Abi Thalib as. :
Seorang Yahudi mendatangi Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as bersama Nabi. Yahudi itu berkata kepada Nabi Muhammad SAW : “apa faedah dari huruf hijaiyah ?” Rasulullah SAW lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib as, “Jawablah”. Lalu Rasulullah SAW mendoakan Ali, “ya Allah, sukseskan Ali dan bungkam orang Yahudi itu”. Lalu Ali berkata : “Tidak ada satu huruf-pun kecuali semua bersumber pada nama-nama Allah swt”. Kemudian Ali berkata :
1.        Adapun Alif artinya tidak ada Tuhan selain Dia yang Maha Hidup dan Kokoh,
2.        Adapun Ba artinya tetap ada setelah musnah seluruh makhluk-Nya.
3.        Adapun Ta, artinya yang maha menerima taubat, menerima taubat dari semua hamba-Nya,
4.   adapun Tsa artinya adalah yang mengokohkan semua makhluk “Dialah yang mengokohkan orang-orang beriman dengan perkataan yang kokoh dalam kehidupan dunia”
5.  Adapun Jim maksudnya adalah keluhuran sebutan dan pujian-Nya serta suci seluruh nama-nama-Nya.
6.        Adapun Ha adalah Al Haq, Maha hidup dan penyayang.
7.        Kha maksudnya adalah maha mengetahui akan seluruh perbuatan hamba-hamba-Nya.
8.        Dal artinya pemberi balasan pada hari kiamat,
9.        Dzal artinya pemilik segala keagungan dan kemuliaan.
10.    Ra artinya lemah lembut terhadap hamba-hamba-Nya.
11.    Zay artinya hiasan penghambaan.
12.    Sin artinya Maha mendengar dan melihat. 
13.    Syin artinya yang disyukuri oleh hamba-Nya.
14.    Shad maksudnya adalah Maha benar dalam setiap janji-Nya.
15.    Dhad artinya adalah yang memberikan madharat dan manfaat.
16.    Tha artinya Yang suci dan mensucikan,

TAMIANG

SYAIR ABAH GADENG TAMIANG Gunung ceremai menjulang tinggi Indah dilihat diwaktu pagi Sungguh saying yang tau diri Tapi tak ma...