Dialog Ibn
Athaillah al-Sakandari [wafat 709 H] dengan Ibn Taimiyah [wafat 728 H].
Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibnu Athaillah al-Sakandari:"The debate with
Ibn Taimiyah".
Ditranslasi dari buku karya: Syekh Muhammad Hisyam Kabbani's, The repudiation of "Salafi" Innovations.
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Ditranslasi dari buku karya: Syekh Muhammad Hisyam Kabbani's, The repudiation of "Salafi" Innovations.
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Abu Fadhl Ibn Athaillah al-Sakandari [wafat 709 H], salah seorang
Imam sufi terkemuka yang dikenal juga sebagai Muhaddits, Muballigh sekaligus
ahli fiqh Maliki. Ia adalah penulis dan karya-karyanya sebagai berikut:
-Al-Hikam.
-Miftahul Falah.
-Al-Qasdul al-Mujarrad fi Makrifat al-Ism al-Mufrad.
-Taj al-Arus al-Hawi li tadhib al-Nufus.
-Unwan al-Taufiq fi al-adad al-Thariq.
Sebuah biografi:
-Al-Lata'if fi Manaqib Abi al-Abbas al-Mursi wa Syaikhikhi Abi al-Hasan.
-Dan lain-lain.
Beliau adalah murid Abu al-Abbas al-Mursi [wafat 686 H], dan generasi penerus kedua Tarekat Syadziliyah "Imam Abul al-Hasan al-Syadzili". Ibn Athaillah adalah salah seorang yang membantah Ibn Taimiyah atas serangan yang berlebihan terhadap kaum sufi yang tidak sepaham dengannya. Dialog berikut ini adalah terjemahan Inggris pertama dan merupakan dialog bersejarah antara dua tokoh tersebut.
Naskah Dialog: Dari Usul al-Wusul.
Karya: Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Katsir, Ibn al-Athir.
Penulis biografi dan kamus biografi, kami memperoleh naskah dialog bersejarah yang otentik.
Naskah tersebut memberikan ilham tentang etika berdebat di antara kaum terpelajar. Di samping itu, ia juga merekam kontroversi antara pribadi yang berpengaruh dalam tasawuf:
Syekh Ahmad Ibn Athaillah al-Sakandari, dan tokoh yang tidak kalah pentingnya dalam gerakan ''Salafi'': Syekh Ahmad Ibn Abd al-Halim Ibn Taimiyah, selama era Mamluk di Mesir yang berada dibawah pemerintahan Sultan Muhammad Ibn Qalawun [al-Malik al-Nasir].
Kesaksian Ibn Taimiyah kepada Ibn Athaillah.
Ibn Taimiyah ditahan di Alexandria. Ketika Sultan memberikan ampunan, ia kembali ke Kairo. Menjelang malam, ia menuju masjid Al-Azhar untuk shalat maghrib yang diimami Syekh Ibn Athaillah. Selepas shalat, Ibn Athaillah terkejut menemukakan Ibn Taimiyah sedang berdoa dibelakangnya. Dengan senyuman, sang syekh sufi menyambut ramah kedatangan Ibn Taimiyah di Kairo seraya berkata:
Assalamu'alaikum, selanjutnya ia memulai pembicaraan dengan tamu cendekianya ini.
Ibn Athaillah:
Biasanya saya shalat di masjid Imam Husein dan shalat Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah menakdirkan, sayalah orang pertama yang harus menyambut anda [setelah kepulangan anda ke Kairo]. Ungkapkanlah kepadaku wahai faqih, apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?
Ibn Taimiyah:
Aku tahu anda tidak bermaksud buruk terhadapku, api perbedaan pandangan diantara kita tetap ada. Sampai hari ini, dalam kasus apapun, aku tidak mempersalahkan dan membebaskan dari kesalahan, siapapun yang berbuat buruk terhadapku.
Ibn Athaillah:
Apa yang anda ketahui tentang aku, syekh Ibn Taimiyah?
Ibnu Taimiyah:
Aku tahu anda adalah seorang yang shaleh, berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara benar dan tulus. Aku bersumpah tidak ada orang selain anda, baik di Mesir maupun Syria yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di [hadapan] Allah atau lebih patuh atas perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tapi bagaimanapun juga kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang anda ketahui tentang saya? Apakah anda atau saya sesat dengan menolak kebenaran [praktek] meminta bantuan seseorang untuk memohon pertolongan Allah [istighatsah]?
Ibn Athaillah:
Tentu saja, rekanku, anda tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawasul atau mengambil wasilah [perantara] dan meminta syafaat; dan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan.
Ibnu Taimiyah:
Mengenai hal ini saya berpegang pada sunnah Rasul yang ditetapkan dalam syari'at. Dalam hadits berbunyi:
''Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat''.
Dalam ayat Al-Qur'an juga disebutkan:
''Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu [wahai Nabi] ke tempat yang terpuji.'' [QS. Al-Isra 79].
Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali radhiyallahu 'anhu wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya:
''Ya Allah Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya Fathimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku, utusan-Mu, dan para Nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun''.
Inilah syafaat yang dimiliki Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sementara mencari pertolongan dari selain Allah, merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan dari selain Allah.
Ibn Athaillah:
Semoga Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih! Maksud dari saran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah tidak melalui kekerabatannya dengan Rasul melainkan dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan mengenai pemahaman anda tentang istighatsah sebagai mencari bantuan kepada selain Allah, yang termasuk perbuatan muryrik, saya ingin bertanya kepada anda:
''Adakah muslim yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya yang berpendapat, ada selain Allah yang memiliki kekuasaan atas segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah ditetapkannya berkenaan dengan dirinya sendiri?''
''Adakah mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk, selain dari Allah?''
Disamping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada berbagai ekspresi yang tak bisa dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana kemusyrikan. Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rasul berarti mengharap anugerah syafaat yang dimilikinya dari Allah, sebagaimana jika anda mengatakan:
''Makanan ini memuaskan seleraku''.
Apakah dengan demikian makanan itu sendiri yang memuaskan selera anda? Ataukah disebabkan Allah yang memberikan kepuasan melalui makanan?
Sedangkan pernyataan anda bahwa Allah melarang muslim untuk mendatangi seseorang selain Diri-Nya guna mendapat pertolongan, pernahkah anda melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada selain Allah?
Ayat Al-Qur'an yang anda rujuk, berkenaan dengan kaum musyrikin dan mereka yang memohon pada dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan satu-satunya jalan bagi kaum muslim yang meminta pertolongan Rasul adalah dalam rangka bertawasul atau mengambil perantara, atas keutamaan [hak] Rasul yang diterimanya dari Allah [bihaqqihi inda Allah] dan tashaffu atau memohon bantuan dengan syafaat yang Allah anugerahkan kepada Rasul-Nya.
Sementara itu, jika anda berpendapat bahwa istighatsah atau memohon pertolongan itu dilarang syari'at karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan anggur karena dapat dijadikan minuman keras, dan mengebiri laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina. [kedua syekh tertawa atas komentar terakhir ini].
Lalu Ibn Athaillah melanjutkannya: Saya kenal betul dengan segala inklusifitas dan gambaran mengenai sekolah fiqh yang didirikan oleh syekh anda, Imam Ahmad, dan saya tahu betapa luasnya teori fiqh dan mendalamnya ''prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan syaitan'' yang anda miliki sebagaimana juga tanggung jawab moral yang anda pikul sebagai seorang ahli fiqh.
Namun saya juga menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali terselubung dibalik kondisi harfiahnya.
Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya.
Anda harus menembus ke dalam jasad fisik ini untuk meraih hakikat yang mendalam.
Kini anda telah memperoleh dasar bagi pernyataan anda terhadap karya Ibn Arabi, Fususul-Hikam. Naskah tersebut telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak dimaksudkannya [memberikan contoh tokoh Islam].
Ketika syekh al-Islam al-Izz Ibn Abd Salam memahami apa yang sebenarnya diucapakan dan dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti makna sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia segera memohon ampun kepada Allah subhanahu wata'ala atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin Ibn Arabi sebagai Imam Islam.
Sedangkan mengenai pernyataan al-Syadzili yang memojokkan Ibn Arabi, perlu anda ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya, melainkan dari salah seorang murid Syadziliyah.
Lebih jauh lagi, pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian pengikut Syadzaliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri.
''Apa pendapat anda mengenai Khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib?''
-Al-Hikam.
-Miftahul Falah.
-Al-Qasdul al-Mujarrad fi Makrifat al-Ism al-Mufrad.
-Taj al-Arus al-Hawi li tadhib al-Nufus.
-Unwan al-Taufiq fi al-adad al-Thariq.
Sebuah biografi:
-Al-Lata'if fi Manaqib Abi al-Abbas al-Mursi wa Syaikhikhi Abi al-Hasan.
-Dan lain-lain.
Beliau adalah murid Abu al-Abbas al-Mursi [wafat 686 H], dan generasi penerus kedua Tarekat Syadziliyah "Imam Abul al-Hasan al-Syadzili". Ibn Athaillah adalah salah seorang yang membantah Ibn Taimiyah atas serangan yang berlebihan terhadap kaum sufi yang tidak sepaham dengannya. Dialog berikut ini adalah terjemahan Inggris pertama dan merupakan dialog bersejarah antara dua tokoh tersebut.
Naskah Dialog: Dari Usul al-Wusul.
Karya: Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Katsir, Ibn al-Athir.
Penulis biografi dan kamus biografi, kami memperoleh naskah dialog bersejarah yang otentik.
Naskah tersebut memberikan ilham tentang etika berdebat di antara kaum terpelajar. Di samping itu, ia juga merekam kontroversi antara pribadi yang berpengaruh dalam tasawuf:
Syekh Ahmad Ibn Athaillah al-Sakandari, dan tokoh yang tidak kalah pentingnya dalam gerakan ''Salafi'': Syekh Ahmad Ibn Abd al-Halim Ibn Taimiyah, selama era Mamluk di Mesir yang berada dibawah pemerintahan Sultan Muhammad Ibn Qalawun [al-Malik al-Nasir].
Kesaksian Ibn Taimiyah kepada Ibn Athaillah.
Ibn Taimiyah ditahan di Alexandria. Ketika Sultan memberikan ampunan, ia kembali ke Kairo. Menjelang malam, ia menuju masjid Al-Azhar untuk shalat maghrib yang diimami Syekh Ibn Athaillah. Selepas shalat, Ibn Athaillah terkejut menemukakan Ibn Taimiyah sedang berdoa dibelakangnya. Dengan senyuman, sang syekh sufi menyambut ramah kedatangan Ibn Taimiyah di Kairo seraya berkata:
Assalamu'alaikum, selanjutnya ia memulai pembicaraan dengan tamu cendekianya ini.
Ibn Athaillah:
Biasanya saya shalat di masjid Imam Husein dan shalat Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah menakdirkan, sayalah orang pertama yang harus menyambut anda [setelah kepulangan anda ke Kairo]. Ungkapkanlah kepadaku wahai faqih, apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?
Ibn Taimiyah:
Aku tahu anda tidak bermaksud buruk terhadapku, api perbedaan pandangan diantara kita tetap ada. Sampai hari ini, dalam kasus apapun, aku tidak mempersalahkan dan membebaskan dari kesalahan, siapapun yang berbuat buruk terhadapku.
Ibn Athaillah:
Apa yang anda ketahui tentang aku, syekh Ibn Taimiyah?
Ibnu Taimiyah:
Aku tahu anda adalah seorang yang shaleh, berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara benar dan tulus. Aku bersumpah tidak ada orang selain anda, baik di Mesir maupun Syria yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di [hadapan] Allah atau lebih patuh atas perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tapi bagaimanapun juga kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang anda ketahui tentang saya? Apakah anda atau saya sesat dengan menolak kebenaran [praktek] meminta bantuan seseorang untuk memohon pertolongan Allah [istighatsah]?
Ibn Athaillah:
Tentu saja, rekanku, anda tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawasul atau mengambil wasilah [perantara] dan meminta syafaat; dan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan.
Ibnu Taimiyah:
Mengenai hal ini saya berpegang pada sunnah Rasul yang ditetapkan dalam syari'at. Dalam hadits berbunyi:
''Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat''.
Dalam ayat Al-Qur'an juga disebutkan:
''Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu [wahai Nabi] ke tempat yang terpuji.'' [QS. Al-Isra 79].
Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali radhiyallahu 'anhu wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya:
''Ya Allah Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya Fathimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku, utusan-Mu, dan para Nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun''.
Inilah syafaat yang dimiliki Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sementara mencari pertolongan dari selain Allah, merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan dari selain Allah.
Ibn Athaillah:
Semoga Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih! Maksud dari saran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah tidak melalui kekerabatannya dengan Rasul melainkan dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan mengenai pemahaman anda tentang istighatsah sebagai mencari bantuan kepada selain Allah, yang termasuk perbuatan muryrik, saya ingin bertanya kepada anda:
''Adakah muslim yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya yang berpendapat, ada selain Allah yang memiliki kekuasaan atas segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah ditetapkannya berkenaan dengan dirinya sendiri?''
''Adakah mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk, selain dari Allah?''
Disamping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada berbagai ekspresi yang tak bisa dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana kemusyrikan. Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rasul berarti mengharap anugerah syafaat yang dimilikinya dari Allah, sebagaimana jika anda mengatakan:
''Makanan ini memuaskan seleraku''.
Apakah dengan demikian makanan itu sendiri yang memuaskan selera anda? Ataukah disebabkan Allah yang memberikan kepuasan melalui makanan?
Sedangkan pernyataan anda bahwa Allah melarang muslim untuk mendatangi seseorang selain Diri-Nya guna mendapat pertolongan, pernahkah anda melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada selain Allah?
Ayat Al-Qur'an yang anda rujuk, berkenaan dengan kaum musyrikin dan mereka yang memohon pada dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan satu-satunya jalan bagi kaum muslim yang meminta pertolongan Rasul adalah dalam rangka bertawasul atau mengambil perantara, atas keutamaan [hak] Rasul yang diterimanya dari Allah [bihaqqihi inda Allah] dan tashaffu atau memohon bantuan dengan syafaat yang Allah anugerahkan kepada Rasul-Nya.
Sementara itu, jika anda berpendapat bahwa istighatsah atau memohon pertolongan itu dilarang syari'at karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan anggur karena dapat dijadikan minuman keras, dan mengebiri laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina. [kedua syekh tertawa atas komentar terakhir ini].
Lalu Ibn Athaillah melanjutkannya: Saya kenal betul dengan segala inklusifitas dan gambaran mengenai sekolah fiqh yang didirikan oleh syekh anda, Imam Ahmad, dan saya tahu betapa luasnya teori fiqh dan mendalamnya ''prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan syaitan'' yang anda miliki sebagaimana juga tanggung jawab moral yang anda pikul sebagai seorang ahli fiqh.
Namun saya juga menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali terselubung dibalik kondisi harfiahnya.
Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya.
Anda harus menembus ke dalam jasad fisik ini untuk meraih hakikat yang mendalam.
Kini anda telah memperoleh dasar bagi pernyataan anda terhadap karya Ibn Arabi, Fususul-Hikam. Naskah tersebut telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak dimaksudkannya [memberikan contoh tokoh Islam].
Ketika syekh al-Islam al-Izz Ibn Abd Salam memahami apa yang sebenarnya diucapakan dan dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti makna sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia segera memohon ampun kepada Allah subhanahu wata'ala atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin Ibn Arabi sebagai Imam Islam.
Sedangkan mengenai pernyataan al-Syadzili yang memojokkan Ibn Arabi, perlu anda ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya, melainkan dari salah seorang murid Syadziliyah.
Lebih jauh lagi, pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian pengikut Syadzaliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri.
''Apa pendapat anda mengenai Khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib?''
Ibn Taimiyah:
Dalam salah satu haditsnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
''Saya adalah kota ilmu dan Ali-lah pintunya''.
Sayyidina Ali adalah merupakan seorang mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa kemenangan.
Siapa lagi ulama atau fugaha sesudahnya yang mampu berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus?
Dialah sahabat Rasul yang paling sempurna, semoga Allah membalas kebaikannya. Ucapannya bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah Al-Qur'an dan Sunnah.
Duhai! Seseorang yang meski sedikit perbekalannya di dunia, namun panjang perjuangannya.
Ibn Athaillah:
Sekarang, apakah Imam Ali radhiyallahu 'anhu meminta agar orang-orang berpihak padanya dalam suatu faksi?
Sementara faksi ini mengklaim bahwa malaikat Jibril melakukan kesalahan dengan menyampaikan kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, bukannya kepada Ali!
Atau pernahkah ia meminta mereka untuk menyatakan bahwa Allah menitis ke dalam tubuhnya dan sang Imam menjadi tuhan? Ataukah ia tidak menentang dan memberantas mereka dengan memberikan fatwa [ketentuan hukum] bahwa mereka harus dibunuh dimanapun mereka ditemukan?
Ibn Taimiyah:
Berdasarkan fatwa ini, saya memerangi mereka dipegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.
Ibn Athaillah:
Dan Imam Ahmad -semoga Allah meridhainya- mempertanyakan perbuatan sebagian pengikutnya yang berpatroli, memecah tong-tong anggur [di toko-toko penganut Kristen atau dimanapun mereka temukan], menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis para penyanyi, dan menyerang masyarakat di jalan.
Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa, bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang tersebut.
Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak dipunggung keledai dengan menghadap ekornya.
Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?
Dengan demikian, Syekh Muhyiddin Ibn Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan hukum dan moral yang telah ditetapkan agama serta melakukan perbuatan yang dilarang agama.
Apakah anda tidak memahami hal ini?
ibn Taimiyah:
Tapi bagaimana pendirian mereka terhadap Allah?
Diantara kalian, para sufi, ada yang menegaskan bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberitakan kabar gembira pada kaum miskin bahwa mereka akan memasuki surga sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin tersebut tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka; saat itu malaikat Jibril turun dari surga dan mewahyukan kepada Rasul bahwa Allah akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu; selanjutnya malaikat Jibril mengangkat satu dari jubah dan menggantungkannya di singgasana Allah, berdasarkan ini kaum sufi, mengenakan jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara atau kaum ''papa''.
Ibn Athaillah:
Tidak semua sufi mengenakan jubah dan pakaian kasar. Lihatlah apa yang saya kenakan apakah anda tidak setuju dengan penampilan saya?
Ibn Taimiyah:
Tetapi anda adalah ulama syari'at dan mengajar di Al-Azhar.
Ibn Athaillah:
Al-Ghazali adalah seorang Imam syari'at maupun tasawuf. Ia mengamalkan fiqh, sunnah dan syari'at dengan semangat seorang sufi. Dan dengan cara ini, ia mampu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama.
Kita tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak memiliki tempat dalam agama dan bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran. Sufi yang tulus dan sejati harus menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan ahli sunnah. Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri mengecam dan menolak. Di mana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan shalat wajib lima kali sehari semalam. Ditunggangi kemalasan dan ketidak pedulian, mereka mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar-Risalah [Risalatul Quryairiyah]. Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah.
Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat di capai dengan mengamalkan laku spiritul.
Kelompok diatas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang tidak akan menyibukkan dirinya kecuali demi kecintaannya pada Allah dan Rasul-Nya.
Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang sehat dan sentosa.
Inilah jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodainya, semacam cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.
Meskipun demikian, kita harus berusaha di jalan Allah agar memperoleh ketenteraman beribadah.
Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah secara harfiah terkadang menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfialah yang mendasari penilaian anda terhada Ibn Arabi, salah satu Imam kami yan terkenal akan kesalehannya. Anda tentunya mengerti bahwa Ibn Arabi menulis dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli dalam menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna lebih dalam dan gaya hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang mengantarkan rahasia mengenai fenomena yang tak tampak.
Ibn Taimiyah:
Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka.
Sementara apa para syekh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami [salafi] yang shaleh dan terkemuka; para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka. Siapapun yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai Imam agama. Namun bagi mereka yang melakukan pembaruan yang tidak berdasar dan menyisipkan gagasan kemusyrikan seperti filosofis Yunani dan pengikut Budha, atau yang beranggapan bahwa manusia menempati Allah [hulul] atau menyatu dengan-Nya [ittihad], atau teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah satu adanya/kesatuan wujud [wahdatul wujud] ataupun hal-hal lain yang diperintahkan syekh anda; semuanya jelas perilaku atheis dan kafir.
Ibn Ahaillah:
Ibn Arabi adalah salah seorang ulama terhebat yang mengenyam pendidikan di Dawud al-Zahiri seperti Ibn Hazm al-Andalusi, seorang yang pahamnya selaras dengan metodologi anda tentang hukum Islam.
Wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun Ibn Arabi seorang Zahiri [menerjemahkan hukum Islam secara lahiriah], metode yang ia terapkan untuk memahami hakekat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi, mencari makna spiritual [thariq al-bathin], guna mensucikan bathin [thathhir al-bathin].
Meskipun demikian tidak seluruh pengikut mengartikan sama-sama apa-apa yang tersembunyi. Agar anda tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan anda mengenai Ibn Arabi dengan pemahaman baru akan simbol-simbol dan gagasannya. Anda akan menemukannya sangat mirip dengan al-Qusyairi. Ia telah menempuh jalan tasawuf di bawah payung Al-Qur'an dan Sunnah, sama seperti Hujjatul Islam Al-Ghazali, yang mengusung perdebatan mengenai perbedaan mendasar tentang Iman dan isu-isu ibadah, menilai usaha ini kurang menguntungkan dan berfaedah. Ia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah adalah cara yang patut di tempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan.
Apakah anda setuju wahai faqih?
Ataukah anda lebih suka melihat perselisihan di antara para ulama?
Imam Malik radhiyallahu 'anhu, telah mengingatkan mengenai perselisihan semacam ini dan memberikan nasehat:
''Setiap kali seseorang berdebat mengenai Iman, maka kepercayaannya akan berkurang''.
Sejalan dengan ucapan itu, Al-Ghazali berpendapat:
"Cara cepat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad''.
Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Maha Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.
Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syekh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat, bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al-Qur'an.
Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al-Farid, bahwa taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja. Karena apalah arti duduk berdirinya anda dalam shalat sementara hati anda dikuasai selain Allah.
Allah memuji hamba-Nya dalam Al-Qur'an: ''[Yaitu] orang-orang yang khusu' dalam shalatnya'', dan Ia mengutuk dalam firman-Nya: ''[Yaitu] orang-orang yang lalai dalam shalatnya''.
Inilah yang dimaksudkan oleh Ibnu Arabi saat mengatakan:
"Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya".
Seorang muslim tidak akan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al-Qur'an, baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membesihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusu'.
Dengan demikian Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya.
Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan meminta sedekah.
Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di [hadapan] Allah dengan mematuhi-Nya.
Barang kali yang menyebabkan para ahli fiqh mengecam Ibn Arabi adalah karena kritikan beliau terhadap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar iman, hukum kasus-kasus yang terjadi [aktual] dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan [dibayangkan padahal belum terjadi]. Ibnu Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka sebagai ''ahli fiqh basa-basi wanita''.
Semoga Allah mengeluarkanmu karena telah menjadi salah satu dari mereka!
Pernahkah anda membaca pernyataan Ibn Arabi bahwa:
"Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sanggahan-sanggahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati."
Adakah pernyataan yang seindah ini?
Ibnu Taimiyah:
Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.
1. Ibn Athaillah, Lata'if al-minan fi manaqib Abi al-Abbas. Pada bagian Lata'if al-minan wa al-akhlaq. Karya: Sya'rani [Kairo 1357] 2:17-18.2. Lihat Ibn al-Imad, Shadharat al dzahab [1350/1931] 6:28; Al-Zirikly, al-A'lam [1405/1984] 1:221; Ibnu Hajar, al-Dhurrar al-Kamina [1348/1929] 1:148-273; Al-Maqrizi, Kitab al-Suluk [1934-1958] 2:40-94; Ibn Kathir, al-Bidayah wa al Nihayah [1351/1932] 14:45; Subki, Tabaqat al-Shafi'iyyah [1324/1906] 5:177. dan 9:23; Suyuti, Husn al-Muhadara fi Akhbar misr wa al-qahira [1299/] 1:301; Al-Dawadari, al-Durr al-fakhir fi sirat Al-Malik Al-Nasir [1960] hal. 200; Al-Yafi' I, Mi'rat al-Janan [1337/1918] 4:246; Sya'rani, Al-Tabaqat al-Kubra [1355/1936] 2:19; Al-Nabhani, jami' karamat al-awliya [1381/1962] 2:25.3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar